BONDOWOSO, LintasDaerah.id | Setiap pagi, kabut tebal turun menyelimuti perkampungan di Kecamatan Ijen, Bondowoso. Dari kejauhan, hamparan kebun kopi dan hutan rimba membentuk lengkung dataran yang nyaris sempurna. “Kalau dari atas, kampung kami seperti berada di dalam wajan besar,” kata seorang warga, sambil menunjuk ke barisan bukit yang mengelilingi.
Julukan wajan raksasa itu bukan dongeng. Inilah Kaldera Ijen Purba, cekungan vulkanik raksasa sisa letusan maha dahsyat yang terjadi antara 300 ribu hingga 100 ribu tahun silam.
Gunung yang dulu menjulang 3.500 meter di atas permukaan laut itu meletus, memuntahkan 70 kilometer kubik material hingga membentuk depresi selebar 18 kilometer.
Abu dan lava kala itu mengalir puluhan kilometer, menutupi sebagian Situbondo dan lereng-lereng di timur Jawa.
Ketua Pengurus Harian Ijen Geopark (PHIG), Tantri Raras Ningtyas, menyebut letusan itu melahirkan 22 gunung baru di sekeliling kaldera.
Gunung Ijen yang terkenal dengan kawah api birunya hanyalah si bungsu, warisan terakhir dari letusan purba itu. “Kaldera ini terbentuk karena puncaknya runtuh setelah dapur magmanya kosong,” ujarnya.
Kini, kaldera seluas 220 kilometer persegi itu menjadi rumah ribuan jiwa. Mereka bertani, beternak, dan hidup berdampingan dengan lanskap yang diam-diam masih berdenyut vulkanik.
Kawah Ijen, dengan belerang yang terus mengepul, adalah pengingat bahwa perut wajan ini belum benar-benar dingin.
Di tengah sunyi pegunungan, warga Ijen hidup di atas panggung geologi raksasa, laboratorium alam yang menyimpan pelajaran tentang kedahsyatan bumi, sekaligus daya lenting manusia yang memilih bertahan di atasnya.(*)