JAKARTA, LintasDaerah.id – Rencana demonstrasi besar-besaran kembali bergulir di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Sejumlah unggahan di media sosial menyebut ribuan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati akan turun ke jalan pada 25 Agustus 2025, melanjutkan protes serupa yang meledak pada 13 Agustus lalu.
Tuntutan mereka sama, yaitu mendesak Bupati Pati, Sudewo, mundur dari jabatannya. Kebijakan kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang dianggap mencekik warga menjadi pemicu utama.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta masyarakat tidak anarkis dalam menyalurkan aspirasi. Ia menegaskan mekanisme politik sudah berjalan di DPRD Pati.
“Pansus hak angket sudah dibentuk. Biarkan proses berjalan. Jangan sampai aksi berubah jadi anarkis,” kata Tito di Senayan, Senin, 18 Agustus 2025.
Hak angket itu, jika memenuhi syarat, bisa berujung pada pemakzulan. Tito mencontohkan kasus di Jember beberapa tahun lalu, ketika DPRD mengajukan pemberhentian bupati kepada Mahkamah Agung.
“Pemerintahan tetap berjalan, sambil menunggu putusan,” ujarnya.
Tito juga mempersilakan Sudewo membuka komunikasi langsung dengan masyarakat, “Silakan saja, dengan cara yang lebih santun.”
Persoalan bermula dari kebijakan penyesuaian NJOP dan PBB yang ditandatangani Sudewo awal 2025. Kenaikan tarif di atas 250 persen di sejumlah wilayah memicu protes petani, pedagang, hingga pemilik rumah sederhana. Mereka menilai kebijakan itu tidak memperhitungkan daya beli masyarakat pasca-pandemi dan fluktuasi harga beras.
Kementerian Dalam Negeri mengaku sudah merespons dengan mengeluarkan Surat Edaran. Isinya, kepala daerah diminta menyesuaikan tarif dengan kemampuan ekonomi warga serta melakukan komunikasi publik sebelum kebijakan diberlakukan. “Saya sudah instruksikan agar kebijakan tidak membebani masyarakat,” kata Tito.
Di Pati, desakan publik memaksa DPRD bergerak cepat. Dalam rapat paripurna, mayoritas fraksi menyetujui pembentukan Panitia Khusus Hak Angket. Pansus ini akan memeriksa dugaan pelanggaran tata kelola dalam kebijakan pajak daerah serta keputusan lain yang dinilai merugikan masyarakat.
Seorang anggota DPRD Pati yang enggan disebutkan namanya mengatakan, langkah ini bukan semata-mata tekanan massa. “Ada indikasi prosedur penetapan NJOP tidak melalui kajian sosial ekonomi yang memadai,” ujarnya.
Jika rekomendasi pansus mengarah ke pemakzulan, DPRD akan mengajukan usulan resmi ke Mahkamah Agung melalui Menteri Dalam Negeri. Namun, jalur ini panjang dan berliku. Banyak pemakzulan kepala daerah sebelumnya kandas di meja hakim karena bukti dianggap tidak kuat.
Meski mekanisme formal tengah berjalan, eskalasi di jalanan belum surut. Aliansi Masyarakat Pati menyatakan tetap akan menggelar aksi pada 25 Agustus mendatang. Mereka menilai jalur politik DPRD belum cukup menjamin perubahan cepat.
“Sudewo sudah kehilangan legitimasi. Kami ingin dia mundur sekarang, bukan menunggu proses panjang,” kata seorang koordinator aksi melalui pesan berantai di media sosial.
Pemerintah pusat mengkhawatirkan aksi ini membesar dan berujung ricuh. Tito mengingatkan agar aparat keamanan mengawal demonstrasi tanpa kekerasan, sementara masyarakat diminta menjaga ketertiban.
Kasus Pati memperlihatkan kembali rapuhnya relasi kepala daerah dengan warganya ketika kebijakan publik tidak berpijak pada kondisi riil masyarakat. Lonjakan pajak daerah, yang secara hukum sah, bisa berubah jadi bara politik ketika tidak dibarengi komunikasi dan mitigasi sosial.
Sudewo kini berada di persimpangan, yakni bertahan dengan risiko protes kian besar, atau membuka ruang kompromi dengan masyarakatnya. Jalan konstitusional memang tersedia, namun tekanan di jalan bisa lebih cepat menentukan arah nasibnya.(*)