JAKARTA – LintasDaerah.id | Kebijakan tarif resiprokal 19 persen yang resmi diberlakukan Amerika Serikat untuk barang asal Indonesia sejak 7 Agustus 2025, tak hanya soal angka di tabel perdagangan. Di baliknya, terselip pesan politik dagang yang kian keras terdengar.
Bagi Washington, tarif ini disebut sebagai langkah “adil” melawan hambatan ekspor mereka. Bagi Jakarta, ini ancaman yang bisa memangkas laju komoditas andalan dari tekstil, karet, kayu, alas kaki, hingga elektronik menuju pasar terbesar kedua RI setelah Cina.
“Efek front loading sudah berjalan. Pesanan dari AS bisa melemah signifikan,” kata Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, dalam Media Briefing Permata Institute for Economic Research (PIER), Senin, 11 Agustus 2025. Potensi penurunan ekspor, menurut dia, bisa mencapai 5–10 persen dibanding tahun lalu.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada Maret 2025, ekspor non-migas RI ke AS mencapai US$2,63 miliar naik 12,08 persen dari Februari. Kini, tren itu terancam berbalik. Perlambatan ekspor akan memukul pertumbuhan PDB kuartal III dan IV, yang diproyeksikan PIER hanya berada di kisaran 4,8–5,1 persen.
Di panggung internasional, tarif ini memicu riak ke sejumlah negara mitra dagang, menambah beban perdagangan global yang sudah rapuh. “Ini sinyal bahwa proteksionisme sedang kembali naik daun,” ujar seorang pengamat perdagangan internasional di Jakarta.
Bagi Indonesia, pilihan strateginya makin terbatas: melawan di meja negosiasi, atau mencari pasar baru sebelum gelombang ini berubah menjadi badai.(*)